Secara umum, hari raya Natal di Jepang kalah pamornya
dibandingkan dengan hari raya Tahun Baru. Di sana, Tahun Baru dianggap
lebih penting daripada hari Natal. Tetapi meskipun hari Natal juga
diperingati dengan cukup meriah di Jepang, baik dengan tukar-menukar
kado, makan malam bersama, maupun memasang pohon Natal, semua itu hanya
didasari pada rasa ketertarikan pada tradisi negara-negara Barat dalam
merayakan Natal; bisa dikatakan mereka hanya ikut-ikutan. Selain itu,
toko-toko yang ikut memeriahkan Natal di Jepang hanya
menggembar-gemborkan Natal dan menjual ornamen-ornamen Natal. Natal
dirayakan, tidak lain hanya untuk alasan komersial saja. Dan yang paling
ironis, meski perayaan Natal di Jepang bisa dikatakan meriah, tidak
banyak orang Jepang yang mengerti makna Natal yang sesungguhnya.
NATAL DAN TAHUN BARU DI JEPANG
Natal diperkenalkan di Jepang oleh para misionaris.
Selama bertahun-tahun, yang merayakan Natal hanyalah orang-orang Jepang
yang bertobat dan mengaku Yesus sebagai Juru Selamat. Namun begitu, kini
suasana Natal di Jepang sangat meriah dan menyita perhatian hampir
seluruh negeri. Tukar-menukar kado merupakan tradisi lama orang-orang
Jepang. Toko-toko yang ada di Jepang memanfaatkan momen Natal untuk
kepentingan komersial -- sama dengan yang dilakukan toko-toko di
negara-negara Barat. Selama beberapa minggu sebelum Natal, toko-toko di
sana mengembar-gemborkan Natal. Toko-toko itu memajang pernak-pernik
Natal dan hadiah yang cocok untuk pria, wanita, dan terutama anak-anak.
Dengan jumlah satu persen penduduk yang beragama Kristen, sedikit sekali
orang Jepang yang benar-benar memahami makna Natal.
Kisah bayi Yesus yang lahir di palungan memang
menarik bagi gadis-gadis cilik di Jepang karena mereka memang menyukai
segala sesuatu yang berkenaan dengan bayi. Saat Natal, banyak orang yang
mengenal palungan untuk pertama kalinya karena biasanya bayi Jepang
tidak tidur di palungan.
Banyak tradisi Barat dalam merayakan Natal yang
diadopsi oleh orang Jepang. Memang sudah merupakan kebiasaan orang
Jepang untuk mencari sesuatu yang menarik dari negara-negara Barat dan
kemudian mengubahnya menjadi sesuatu yang kental dengan khas Jepang.
Selain tukar-menukar kado, keluarga-keluarga Jepang juga makan kalkun
pada hari Natal, dan bahkan ada pohon Natal di beberapa tempat umum.
Mereka menghias rumah mereka dengan pohon cemara, dan puji-pujian Natal
dikumandangkan dengan sukacita di beberapa rumah. Sering kali, sebuah
ranting juga digantung di langit-langit rumah. Krans Natal digantung di
depan pintu sebagai simbol keberuntungan.
Di Jepang, ada tuhan atau pendeta yang disebut
"Hoteiosho" -- versi lain Sinterklas. Ia digambarkan sebagai pria tua
baik hati yang memanggul tas besar. Beberapa rumor mengatakan bahwa ia
memunyai mata di bagian belakang kepalanya. Penting bagi anak-anak untuk
bersikap baik saat tersiar kehadiran Hoteiosho.
Tahun Baru merupakan hari raya terpenting dalam
kalender Jepang. Pada malam Tahun Baru, seluruh rumah dibersihkan dari
atap sampai lantai bawah. Seluruh rumah dihiasi untuk menyambut hari
itu. Saat segala sesuatu telah bersih dan rapi, seisi rumah memakai
pakaian yang paling bagus, sering kali mereka memakai baju nasional
Jepang -- kimono. Kemudian, kepala keluarga berjalan mengelilingi rumah
sambil diikuti seisi rumah untuk mengusir roh-roh jahat. Ia melempar
buncis kering ke setiap sudut rumah agar roh-roh jahat keluar dari rumah
dan keberuntungan masuk ke rumah. Seluruh keluarga pergi ke kuil
Shinto, menepukkan kedua tangan mereka untuk menarik perhatian tuhan
mereka dan memohon peruntungan. Sering kali, kesialan-kesialannya
dibakar, namun variasi kebiasaan itu tergantung pada kuil dan tuhannya.
SEJARAH KEKRISTENAN DI JEPANG
Sebelum kekristenan masuk ke negara yang sekarang
disebut Amerika Serikat, kekristenan telah masuk ke negara Jepang. Agama
Kristen pertama kali diperkenalkan di Jepang pada abad ke-16 oleh kaum
Jesuit dan kemudian oleh para misionaris Fransiskan. Pada akhir abad
itu, kira-kira ada 300.000 orang Jepang yang dibaptis.
Sayangnya, situasi yang menjanjikan itu mulai
ditentang oleh kelompok misionaris lain dan intrik-intrik politik yang
datang dari pemerintah Spanyol dan Portugis, serta partai-partai politik
pemerintahan Jepang sendiri. Akibatnya, orang-orang Kristen ditindas.
Korban pertamanya adalah 6 biarawan Fransiskan dan 20
orang petobat yang disalib di Nagasaki pada 5 Februari 1597. Setelah
adanya toleransi terhadap orang-orang Kristen yang hanya berlangsung
selama beberapa waktu, banyak orang Kristen yang ditangkap, dipenjara,
atau dianiaya dan dibunuh; dan gereja pun terpaksa bergerak di bawah
tanah pada 1630. Meski begitu, saat Jepang kembali membuka diri kepada
negara-negara Barat 250 tahun setelah peristiwa tersebut, ternyata
komunitas Kristen Jepang masih bertahan di bawah tanah, tanpa pendeta
dan Injil; mereka bertahan hanya dengan instruksi sederhana mengenai
iman mereka, tetapi dengan iman yang teguh percaya bahwa Yesus adalah
Juru Selamat mereka.
Gereja mulai bertumbuh lagi setelah Komodor Perry
membuka negara Jepang dengan armadanya dari Amerika. Misionaris tumpah
ruah ke Jepang.
Namun demikian, selama Perang Dunia II, oleh karena
curiga dengan orang-orang Kristen dan orang-orang Barat, pemerintah
Jepang menggiring orang-orang Kristen ke Nagasaki. Sungguh ironis,
negara yang paling bertanggung jawab untuk menginjili orang-orang
Jepang, malah menjatuhkan bom nuklir di Nagasaki dan membunuh banyak
orang Kristen. Meski begitu, masih ada orang-orang Kristen yang
berdedikasi di Jepang, dan gereja pun terus bertumbuh.
0 komentar:
Posting Komentar